..::: Jazzakumullah Khoiron Khatsiro..., Kami Ucapkan Kepada Para Donatur Yang Telah Menyisihkan Sebagian Hartanya Untuk Lembaga Kemanusiaan aura insani Hidayatullah...,sehingga situs ini dan berbagai situs dakwah lainnya dapat terus bersyiar, Semoga Amal Para Donatur di terima dan dilipat gandakan oleh Allah SWT serta mendapakan keberkahan dan Manfaat yang luar biasa.Amin Yaa Robbal 'alamin.Untuk Informasi Donasi Silahkan klik Donasi aih

Kamis, 26 Agustus 2010

Puasa Dan Al-Qur'an

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (Al-Baqarah: 185)

Ayat ini adalah ayat ketiga dari rangkaian ayat puasa yang berjumlah 4 ayat dan tersusun secara runtut dalam satu surah, yaitu surah Al-Baqarah ayat 183-187 (dikurangi ayat 186). Ayat ini menjelaskan waktu kewajiban berpuasa yaitu bulan Ramadhan yang belum disebutkan pada dua ayat sebelumnya. Sekaligus ayat ini menghapus keringanan tidak berpuasa bagi orang yang muqim dan sehat yang disebutkan pada ayat sebelumnya. Sehingga siapapun yang hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, kecuali bagi yang sakit atau dalam perjalanan ia diberi keringanan untuk tidak berpuasa, tetapi harus menggantinya pada hari-hari yang lain sebanyak hari yang ditinggalkannya itu. Namun tetap kaidah dasar syariat Islam adalah Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.

Makna yang patut digali dari ayat ini adalah keterkaitan yang erat antara puasa dan Al-Qur’an. Tercatat hanya ayat ini yang menggandingkan puasa dengan turunnya Al-Qur’an; Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Ibnu Katsir menyebutkan korelasi ini dalam tafsirnya: ”Allah memuji Ramadhan sebagai bulan yang dipilih untuk diturunkan kitab suciNya yang agung. Bahkan seluruh kitab-kitab samawi yang lain juga diturunkan di bulan Ramadhan seperti yang terungkap dalam riwayat imam Ahmad bahwa Rasulullah saw bersabda: “Shahifah Ibrahim diturunkan pada malam pertama bulan Ramadhan, Taurat diturunkan pada hari (malam) keenam bulan Ramadhan, Injil diturunkan pada hari (malam) ketiga belas bulan Ramadhan, Zabur diturunkan pada malam kedelapan belas Ramadhan, sedangkan Al-Qur’an diturunkan pada malam kedua puluh empat bulan Ramadhan”. (Musnad Ahmad, 4/107)

Namun menurut Asy-Syaukani, dalam konteks penurunan Al-Qur’an, ayat ini masih bersifat umum karena tidak menjelaskan waktu yang pasti tentang turunnya Al-Qur’an. Surah Al-Qadar ayat 1 dan surah Ad-Dukhan ayat 3 itulah yang menjadi penjelas bagi ayat ini: “Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Qur’an pada malam yang penuh dengan keberkahan, yaitu malam Lailatul Qadar”.

Penjelasan inipun sebenarnya masih memerlukan penjelasan lebih rinci, karena kepastian tanggal turunnya Al-Qur’an masih belum disebutkan. Spesifikasi yang disebutkan Al-Qur’an hanya terbatas pada bulan diturunkannya Al-Qur’an yaitu bulan Ramadhan yang dispesifikasi kembali dengan malam Lailatul Qadar. Tapi kapan itu terjadi masih menjadi perdebatan hangat diantara para ulama. Namun mereka sepakat bahwa maksud turunnya Al-Qur’an di bulan Ramadhan adalah turunnya Al-Qur’an dari Lauh Mahfudz ke Baitul Izzah di langit dunia. Sehingga penurunan Al-Qur’an menurut Imam Suyuthi terjadi dalam dua tahap, yaitu pertama, turunnya Al-Qur’an dari Lauh Mahfudz ke langit dunia secara sekaligus dan kedua, turunnya Al-Qur’an kepada Rasulullah secara berperiodik. Untuk memahami kedua bentuk turunnya Al-Qur’an tersebut, Al-Qur’an menggunakan redaksi yang berbeda. Redaksi Anzala (Inzal) untuk menunjukkan turunnya Al-Qur’an secara sekaligus dari Lauh Mahfudz ke Langit dunia dan redaksi Nazzala (Tanzil) untuk menunjukkan penurunan Al-Qur’an secara berangsur-angsur.

Dalam pembahasan tanggal turunnya Al-Qur’an, terdapat beberapa riwayat yang bisa dijadikan acuan. Riwayat Ibnu Abbas seperti yang dinukil oleh Ibnu katsir menyatakan bahwa Al-Qur’an diturunkan pada malam pertengahan bulan Ramadhan ke Baitul Izzah di Langit dunia kemudian diturunkan secara berangsur-angsur kepada nabi Muhammad dalam kurun waktu 20 tahun. Secara lebih lengkap imam Ahmad meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda: “Shahifah Ibrahim diturunkan pada malam pertama bulan Ramadhan, Taurat diturunkan pada hari (malam) keenam bulan Ramadhan, Injil diturunkan pada hari (malam) ketiga belas bulan Ramadhan, Zabur diturunkan pada malam kedelapan belas Ramadhan, sedangkan Al-Qur’an diturunkan pada malam kedua puluh empat bulan Ramadhan”. Dalam riwayat Jabir bin Abdullah dibedakan bahwa Zabur diturunkan pada malam kedua belas. (Musnad Ahmad, 4/107)

Jika riwayat Imam Ahmad dijadikan acuan, maka akan lebih menepati dengan kemungkinan besar terjadinya malam Lailatul Qadar yang banyak disebutkan oleh Rasulullah saw dalam haditsnya. Misalnya: ”Carilah malam Lailatul Qadar itu di sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan”. Atau ”Carilah malam Lailatul Qadar itu di tanggal ganjil pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan”. (H.R. Bukhari).

Korelasi kedua yang bisa ditemukan antara Al-Qur’an dan puasa adalah bahwa keduanya merupakan sarana (wasilah) mendapatkan syafaat kubro di hari kiamat nanti. Tersebut dalam hadits Abdullah bin Umar yg diriwayatkan oleh Imam Ahmad (13/375) bahwa Rasulullah saw bersabda: “Puasa dan Al-Qur’an keduanya akan memberi syafaat kepada hamba Allah pada hari kiamat. Puasa berkata: ya Allah, aku menghalanginya dari makan, minum dan syahwat di siang hari, maka berilah syafaat untuknya karena aku. Al-Qur’an pun berkata: ya Rabbi, aku telah telah menahannya dari tidur di malam hari (karena membaca aku), maka berilah ia syafaat karena aku”. Maka akhirnya keduanya menjadi wasilah untuk medapatkan syafaat Allah swt.

Jika korelasi ini difahami dengan baik, maka pemaknaan yang luhur dari bulan Ramadhan adalah Syahrul Qur’an; bulan berinteraksi dan bergaul dengan Al-Qur’an sebaik dan seintens mungkin selain dari makna syahrus shobr (bulan melatih bersabar), syahrul infaq (bulan berinfak), syahrul maghfiroh (bulan ampunan), syahrut tarbiyah (bulan pembinaan), syahrul ibadah (bulan peningkatan ibadah), syahrul jihad (bulan perjuangan) dan lain sebagainya. Namun kenyataannya, makna Ramadhan sebagai syahrul Qur’an masih belum teraplikasikan dengan baik. Padahal pilihan Allah tentang Ramadhan sebagai bulan kewajiban puasa dan bulan penurunan Al-Qur’an tentu tidak lepas dari makna ini. Justru keberkahan Al-Qur’an yang dijanjikan oleh Allah akan lebih terasa di bulan Ramadhan yang penuh berkah ini (syahrun mubarak). “Inilah kitab penuh berkah yang Kami turunkan kepada engkau (Muhammad) agar mereka mentadabburi ayat-ayatnya dan menjadikannya sebagai bahan peringatan bagi orang-orang yang berakal”. (Shad:29)

Saatnya momentum Ramadhan dijadikan momentum untuk memperbaiki dan meningkatkan keberAl-Qur’anan kita. Bukankah ukuran kebaikan seseorang tergantung dengan tingkat interaksinya dengan Al-Qur’an seperti yang dinyatakan dalam hadits Ibnu Mas’ud, “Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya”. Mempelajari dan mengajarkan disini tidak terbatas dalam konteks bacaan, tetapi lebih dari itu: mempelajari dan mengajarkan nilai dan ajaran Al-Qur’an secara utuh dan menyeluruh. Bahkan posisi dan kedudukan seseorang di dalam syurga juga terkait erat dengan tingkat keberAl-Qur’anannya. Karena pada hari kiamat nanti setiap orang akan diminta untuk membacakan Al-Qur’an: “Bacalah dan terus tingkatkan seperti kamu membaca di dunia, karena tingkat dan kedudukanmu di syurga ditentukan oleh kualitas dan kuantitas interaksi kamu dengan Al-Qur’an.

Tidak berlebihan untuk kita mulai membangun pribadi qur’ani yang akan berlanjut kepada membangun keluarga qur’ani yang mudah-mudahan dari sini akan lahir masyarakat qur’ani dan jayl qur’an (generasi qur’an) yang mutamayyiz dan farid “unik dan berbeda” karena mereka adalah kekasih Allah dan orang pilihannya. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya bagi Allah kekasihnya dari manusia. Mereka adalah para pembawa Al-Qur’an. Merekalah kekasih Allah dan orang pilihannNya”. (H.R. Al-Hakim)

Malam Lailatul Qadar

Allah Ta ‘ala berfirman:

إِنَّا أَنزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ الْقَدْرِ ﴿١﴾ وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ ﴿٢﴾ لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِّنْ أَلْفِ شَهْرٍ ﴿٣﴾ تَنَزَّلُ الْمَلَائِكَةُ وَالرُّوحُ فِيهَا بِإِذْنِ رَبِّهِم مِّن كُلِّ أَمْرٍ ﴿٤﴾ سَلَامٌ هِيَ حَتَّىٰ مَطْلَعِ الْفَجْرِ ﴿٥﴾


Allah SWT memberitahukan bahwa Dia menurunkan Al-Qur’an pada malam Lailatul Qadar, yaitu malam yang penuh keberkahan. Allah Ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Qur’an) pada suatu malam yang diberkahi.” (QS. Ad-Dukhaan: 3). Dan malam itu berada di bulan Ramadhan, sebagaimana firman Allah Ta ‘ala: “Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an.” (QS. Al-Baqarah: 185).“Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) saat Lailatul Qadar (malam kemuliaan). Dan tahukah kamu apakah Lailatul Qadar itu? Lailatul qadar itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar.” (QS. Al-Qadr: 1-5)

Ibnu Abbas -radhiallahu ‘anhu- berkata:

“Allah menurunkan Al-Qur’anul Karim keseluruhannya secara sekaligus dari Lauh Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah (langit pertama) pada malam Lailatul Qadar. Kemudian diturunkan secara berangsur-angsur kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sesuai dengan konteks berbagai peristiwa selama 23 tahun.”

Malam itu dinamakan Lailatul Qadar karena keagungan nilainya dan keutamaannya di sisi Allah Ta ‘ala. Juga, karena pada saat itu ditentukan ajal, rezki, dan lainnya selama satu tahun, sebagaimana firman Allah: “Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” (Ad-Dukhaan: 4). Kemudian, Allah berfirman mengagungkan kedudukan Lailatul Qadar yang Dia khususkan untuk menurunkan Al-Qur’anul Karim: “Dan tahukah kamu apakah Lailatul Qadar itu?” Selanjutnya Allah menjelaskan nilai keutamaan Lailatul Qadar dengan firman-Nya: “Lailatul Qadar itu lebih baik dari pada seribu bulan.”

Beribadah di malam itu dengan ketaatan, shalat, tilawah, dzikir, doa dsb sama dengan beribadah selama seribu bulan di waktu-waktu lain. Seribu bulan sama dengan 83 tahun 4 bulan. Lalu Allah memberitahukan keutamaannya yang lain, juga berkahnya yang melimpah dengan banyaknya malaikat yang turun di malam itu, termasuk Jibril ‘alaihis salam. Mereka turun dengan membawa semua perkara, kebaikan maupun keburukan yang merupakan ketentuan dan takdir Allah. Mereka turun dengan perintah dari Allah. Selanjutnya, Allah menambahkan keutamaan malam tersebut dengan firman-Nya: “Malam itu (penuh) kesejahteraan hingga terbit fajar” (QS. Al-Qadar: 5)

Maksudnya, malam itu adalah malam keselamatan dan kebaikan seluruhnya, tak sedikit pun ada kejelekan di dalamnya, sampai terbit fajar. Di malam itu, para malaikat -termasuk malaikat Jibril mengucapkan salam kepada orang-orang beriman. Dalam satu hadits shahih, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan keutamaan melakukan qiyamul lail di malam tersebut. Beliau bersabda: “Barangsiapa melakukan shalat malam pada saat Lailatul Qadar karena iman danmengharap pahala Allah, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (Hadits Muttafaq ‘Alaih)

Tentang waktunya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Carilah Lailatul Qadar pada (bilangan) ganjil dari sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan.” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan lainnya).

Yang dimaksud dengan malam-malam ganjil yaitu malam dua puluh satu, dua puluh tiga, dua puluh lima, dua puluh tujuh, dan malam dua puluh sembilan.

Adapun qiyamul lail di dalamnya yaitu menghidupkan malam tersebut dengan shalat tarawih, shalat tahajjud, membaca Al-Qur’anul Karim, dzikir, doa, istighfar dan taubat kepada Allah Ta ‘ala. Beberapa pelajaran dari surat Al-Qadr:

1. Keutamaan Al-Qur’anul Karim serta ketinggian nilainya, dan bahwa ia diturunkan pada Lailatul Qadar (malam kemuliaan).

2. Keutamaan dan keagungan Lailatul Qadar, dan bahwa ia menyamai seribu bulan yang tidak ada Lailatul Qadar di dalamnya.

3. Anjuran untuk mengisi kesempatan-kesempatan baik seperti malam yang mulia ini dengan berbagai amal shalih.